Why Oh Why?
JFlow
sudah dibeli. Uang bicara. idealis berganti realistis. Munafik. Plin-plan.
Semua ucapan diatas, sampai yang terlalu kasar untuk gue muat disini, datang
bertubi-tubi ke gue semenjak iklan kampanye pilgub Foke-Nara tayang di berbagai
media.
Gue
ngga menyalahkan pengirimnya, karena gue menghargai perbedaan pandangan dan
pikiran yang berujung pada pengambilan keputusan tiap orang yang pastinya akan
berbeda pula. Gue harap lo bisa memahami itu seperti guepun memahami opini lo
terhadap gue saat ini J
Sebelum
gue membeberkan alasan kenapa gue
memutuskan memberikan opini pribadi gue untuk ditayangkan secara luas
(catat, bukan mengajak siapapun untuk memilih atau mencoblos Foke-Nara),
ijinkan gue untuk mengajak kalian mencermati kata perkata yang gue ucapkan di
iklan kampanyenya.
“Awalnya gue ga terkesan, tapi setelah melihat data, fakta dan rencana kerjanya…okelah kita kasih satu
kesempatan lagi untuk Fauzi Bowo”
Kalimat
ini secara jujur dan (menurut gue) cukup gamblang menjelaskan alasan dibalik
keputusan gue. Dan berbeda dengan endorser lainnya, gue mengajukan syarat bahwa
kata-kata yang akan gue ucapkan didepan kamera haruslah kata-kata dari gue
sendiri dan ditampilkan utuh. Gue tidak membaca skrip apapun, teman-teman,
semua kata-kata itu murni berasal dari pemikiran gue. Bahkan ekspresi muka
guepun menunjukkan perasaan gue yang sebenarnya, bukan arahan sang sutradara
atau siapapun.
Foke
adalah satu-satunya Cagub yang mengundang gue secara personal untuk diajak bicara soal masalah Jakarta. Dia
juga satu-satunya yang mempersilakan gue berbicara mengeluarkan unek-unek gue
yang seabrek soal Jakarta, sebelum kemudian gantian menceritakan ide dan
rencananya.
Gue
ga senaif itu untuk menelan bulat-bulat setiap kata-katanya. Gue menyanggah,
mempertanyakan, bahkan menyudutkan dalam beberapa kesempatan. Ada nama-nama
yang cukup dikenal yang juga hadir dalam pertemuan itu yang tidak etis untuk
gue sebutkan disini tanpa persetujuan mereka. Foke tidak sempurna, bahkan jauh
dari itu. Tapi cuma dia yang memberi gue
kesempatan mendengar dan didengar secara langsung. Cuma dia yang
memungkinkan untuk suatu waktu kelak gue tagih realisasi programnya dan gue
“hajar” bila ingkar.
Mungkin
pilihan gue bukan yang terbaik menurut kebanyakan orang, tapi gue berprinsip gue lebih baik memilih yang bisa gue tagih.
Gue ga kenal secara pribadi dan mendalam dengan ke5 pasang kandidat lain. Bukan
salah mereka juga tidak mengajak gue bicara dan mengenal mereka lebih jauh. Ini
masalah pilihan, dan hidup menghadapi konsekuensinya.
Bila
ternyata pilihan gue salah, guepun akan menanggung apapun konsekuensinya.
Harganya mungkin akan sangat mahal. Mungkin karir, mungkin reputasi, mungkin
persahabatan dan pertemanan. Tapi seorang laki-laki harus bisa membuat
keputusan dan hidup dengan resikonya, seberat apapun itu.
I’m
on my own in this. Gue mohon tidak usah dikait-kaitkan dengan label atau nama
apapun yang menempel/ diasosiasikan dengan gue.
Gue
tulis ini bukan untuk mendapat persetujuan atau restu lo, just wanna set the
record straight.
Maaf
buat yang selama ini bertanya atau menyindir di twitter, baik mention maupun
(kebanyakan) no mention, dan tidak gue jawab. Gue ga mungkin menjelaskan ini
dalam 140 karakter, sama seperti gue ga berharap lo memahami pilihan gue dalam
beberapa menit kedepan. Cuma 1 yang gue mohon, percayalah, guepun menginginkan
yang terbaik untuk kota gue tercinta. With my own way, that is.
J