Kamis, 22 Mei 2014

Sepadankah?

Jumat 23 Mei, 8:54 AM

Saya baru selesai olahraga pagi setelah kemarin menghabiskan waktu total 13 jam di studio untuk mixing sebuah lagu untuk kepentingan konser solo pertama saya di 2014, #REFILL. Lagu itu nantinya juga akan masuk ke album solo ke 3 saya yang berjudul sama.
Ini sebenarnya rutinitas sehari-hari saya yang sudah dijalani cukup lama selama 10 tahun berkarir sebagai musisi penuh waktu: bangun pagi, mencari dan menuliskan inspirasi, pergi bertemu klien atau calon investor atau rekan musisi, dan masuk studio hingga jauh malam ataupun subuh.
“Is it worth it?’ atau “sepadankah semua ini?” tiba-tiba muncul di kepala saat mengangkat beban di pusat kebugaran beberapa menit lalu. Untuk sesaat beban bench press terasa meningkat 100x lipat saat memikirkan perjalanan yang sudah ditempuh hingga ke titik ini.
Mungkin banyak yang bertanya-tanya seperti apa sih proses kreatif hingga sebuah lagu bisa sampai di telinga kita. Bukankah itu mudah sekali? Tinggal santai-santai menunggu inspirasi datang, tuangkan dan selesai? I wish it could be that easy supaya saya bisa punya kerjaan sampingan meneruskan bisnis kuliner misalnya atau jadi model paruh waktu (which is impossible, and not because of time barrier, lol).
Menjadi musisi, apalagi indie, apalagi di Indonesia amatlah berat. Di negara yang industri seninya maju tantangan bagi musisi hanya soal berkarya menghasilkan sesuatu yang keren, beda dan “connect” dengan penikmatnya. Promosi memang harus diusahakan sendiri, tapi sekali lagi semua ada jalurnya yang sudah disiapkan. Kemewahan yang mereka miliki dan membuat saya iri adalah mereka hidup ditengah masyarakat yang sangat menghargai betul karya kreatif dan intelektual. Sudah menjadi budaya mereka untuk menghargai karya dengan membayar harganya. Mereka tau si pencipta butuh penghasilan untuk bertahan hidup dan bertahan sebagai pencipta serta tidak menyerah ditengah jalan dan beralih profesi menjadi agen asuransi atau MLM seperti yang terjadi pada banyak seniman yang saya kenal.
Saya beri gambaran begini: suatu pagi sebuah ide lagu datang saat saya baru bangun tidur pukul 6.00. Ide itu harus saya kembangkan. Metode favorit saya adalah “mengajak” ide itu ikut jogging bersama saya selama 30-45 menit di sekitar area tempat tinggal saya. Selama jogging ide itu mulai jelas bentuknya. Terbayang tema lagu ini apa, suasana yang mau dibangun seperti apa, lirik chorusnya seperti apa. Kembali ke rumah sambil mandi ide itu dikembangkan lagi sambil merekam berbagai versi contoh suara ke voice recorder. Pukul 8.00 saya sudah siap di meja kerja saya dengan laptop, headphones, buku dan pena. Biasanya saat ini saya sudah sibuk mengirimkan pesan atau mencoba menelpon rekan musisi/produser yang saya anggap tepat untuk diajak menggarap ide lagu tadi.
Sambil menunngu balasan mereka (setau saya 98% musisi, apalagi DJ, jarang sekali yang sudah bangun dan siap kerja dibawah jam 11 siang :p) saya mencoba dengan skill yang dibawah rata-rata ini untuk membuat draft kasar berupa beat dasar yang simple dan merekam guide vokal di laptop.
Sambil diselingi membalas email dari management soal kontrak kerja, design album, budget konser, permintaan sponsor dan tawaran interview media, saya mencoba menulis lirik lagu tersebut yang dasarnya sudah lumayan jadi.
Pukul 11 pesan teks saya dibalas. Ide saya bersambut, dan dia akan mencoba mengerjakan musik dasarnya segera. Janji bertemu pukul 15 di sebuah mall di bilangan Jakarta selatan disepakati. Draft cupu meluncur ke inboxnya. Waktunya memasak makan siang singkat dan berangkat.
Sebelum pukul 15 biasanya saya sudah hadir di tempat sesuai kesepakatan, I hate waiting but i hate being late even more. Sudah diduga kalau janjian dengan pekerja seni biasanya mereka terlambat. 30 menit kali ini, lumayan.
Pembicaraan berlangsung panjang, saling membandingkan referensi dan idepun berputar-putar mengalir bebas diseputar meja restoran yang mulai sepi. Disepakati bahwa pukul 22 ide akan dieksekusi menjadi karya di sebuah studio di bilangan Sudirman Jakarta Pusat. Antara saat itu hingga pukul 22 sudah bisa dipastikan akan terjadi traffic email, voice note dan teks yang berlimpah diantara kami.
Kira-kira setengah jam sebelum pukul 22 seperti biasa saya sudah hadir di studio untuk loading data lalu membiasakan diri dengan mood dan suasana studio, berbincang dengan operator dan menjelaskan kebutuhan rekaman kali ini. Pukul 22.30 semua sudah di posisi, proses kreatifpun dimulai.
Saya adalah orang yang bawel, presisi, perfeksionis dan banyak maunya dalam bekerja. Syukurlah rekan-rekan yang (bertahan) bekerja dengan saya sudah hafal dan maklum. Rata-rata lagu saya yang kalian dengar adalah hasil revisi dan bongkar pasang minimal 3x. Lagu Harapan dari album DreamBrave memegang rekor dengan total 7x revisi dan 4x rekam ulang beda versi. 
Mendekati tengah malam biasanya kami sudah sepakat dengan arah utama musik dari si lagu. Pekerjaan sesungguhnya dimulai dari sini: Mengisi detil-detil. Disinilah kebawelan saya yang sesungguhnya dimulai. Tidak bisa memainkan instrumen musik apapun dengan baik, tapi saya tau persis apa yang mau saya dengar dari lagu saya. Argumentasi terjadi; mereka dengan bahasa musik yang benar vs saya dengan bahasa Tarzan mengarang bebas pun tak terhindarkan. I usually win though
Mendekati pukul 2 pagi aransemen musik sudah 75% rampung, saatnya mengisi vokal sebelum pengisian detil instrumen supaya tidak ada chord atau melodi yang bentrok dengan vokal. Berbekal minum air putih sebanyak-banyaknya yang berakibat kunjungan rutin ke toilet, masuklah saya ke vocal booth. Saatnya rekan-rekan produser saya “menyiksa” saya dengan koreksi-koreksi yang saya curiga sering mereka berikan sebagai balas dendam semata.
Pukul 3.30 rekaman vokal selesai, setidaknya menurut saya. Setelah itu para pemain instrumen menambahkan atau mengurangi apapun yang dirasa perlu dilakukan.
Next is hearing session: Mendengarkan berulang-ulang. Sampai kapan? Sampai sewa shift studio habis, haha. Makanya impian saya adalah memiliki studio rekaman sendiri suatu hari. 
Pukul 4.00 sesi rekaman berakhir, semua pulang kecuali saya. Mesti bayar-bayar dulu dan menunggu data hasil rekaman dibalance dan dibounce ke harddisk. Biasanya sekitar pukul 4.30 baru saya beranjak. Sampai di rumah sekitar pukul 5.00 saya tidak bisa langsung tidur, adrenalin masih tinggi dan rasa penasaran ingin mendengar hasil kerja semalaman tak sanggup dilawan. Setelah memindahkan data dari harddisk ke laptop dan kemudian ke gadget, headphonespun dipasang dan saya mulai mengkritisi diri sendiri dan membuat catatan mental. Ini berlangsung hingga pukul 6 sekian sampai saya tertidur dan bangun kembali sekitar pukul 8 atau 9 karena biasanya sudah ada pekerjaan menanti. 
Jadi, lagunya selesai? Belum :) saya akan mendengarkannya berulang-ulang di headphones, di mobil, di rumah, di telinga orang lain yang saya todong untuk survey sampai saya menemukan kekurangannya. Setelah itu saya mulai mengirim teks pesan kepada orang-orang itu dan proses diatas diulang kembali, biasanya lebih dari sekali. Setelah itu ada proses yang tidak kalah panjang dan ribet yang bernama mixing. Lagi-lagi saya menjadi orang yang menjengkelkan di proses ini. Tapi biasanya di saat lagunya selesai mereka akan menghampiri saya dan mengakui…kalau saya memang menjengkelkan…haha..biasanya mereka akan sama puas dan bilang “bagus sih..tapi next time jangan seribet ini ya!” dan setelah itu mereka terjebak lagi.
Proses sepanjang itu, tim sekompleks itu, biaya sebesar itu. Buat apa? Untuk diunduh secara gratis dalam waktu 2 menit? Itu yang tadi terlintas di kepala.
Sedih dan sakit rasanya. 5000 rupiah per lagu atau 50-100 ribu rupiah untuk sebuah album berisi 10 atau lebih lagu yang masing2 dibuat dengan komitmen dan dedikasi seperti diatas bukankah layak? Diperparah dengan perlakuan media dan industri yang tidak berpihak kepada musisi kecuali si musisi sedang berada di puncak permintaan pasar dan bisa diperah sebanyak-banyaknya “selagi laku dijual’. Rasanya kepingin memutar balik waktu ke pukul 6 pagi dan menarik selimut melanjutkan tidur waktu ide itu datang mengetuk.
Saya bukan satu-satunya pejuang. Banyak diluar sana, banyak yang jauh lebih bagus dan mungkin bekerja lebih keras lagi dari saya. Kami hanya ingin berkarya, dan dihargai karyanya untuk menghidupi kami supaya bisa terus berkarya dan menginspirasi. Dengan mudahnya orang bisa membayar parkir di mall belasan ribu rupiah, menghabiskan secangkir kopi di gerai dengan membayar puluhan ribu rupiah, nonton film di bioskop berteman berondong jagung dan soda menghabiskan hingga seratus ribu rupiah lebih. Tapi sulit untuk menghargai hasil proses panjang seorang musisi indie, terutama yang lokal. Kami memang indie, sumber daya kami terbatas. Tapi kreatifitas dan semangat kami tak berbatas. Apakah yang tak terbatas itu akan terus menjadi tak berbalas? Sewa studio tidak bisa diganti dengan senyuman. Uang bensin dan ongkos taksi tidak bisa diganti jabat tangan. Biaya cetak cd dan sewa gedung konser tidak bisa ditukar acungan jempol. Dukung kami, dan kami akan hasilkan yang terbaik, menyediakan alasan bagi Anda untuk bangga terhadap Indonesia. Kecuali Anda ingin Indonesia selamanya dikenal sebagai eksportir handal asisten rumah tangga dan teroris serta penghasil band dan penyanyi abal-abal ala acara tv pagi itu, mulailah hargai yang bagus. Beli cdnya, pesan tiket konsernya dan koleksi merchandisenya. Saya pastikan, kekurangan kami di sisi modal sangat tertutupi oleh sisi kreatifitas kami. Mau bukti? Pesan tiket konser saya tanggal 7 Juni 2014 dan akan saya tunjukkan apa itu pengalaman menikmati musik yang sesungguhnya.

#REFILL Concert June 7 2014 Jakarta Arts Entertainment Centerfile:///Users/JFlow/Pictures/iPhoto%20Library.photolibrary/Masters/2014/05/24/20140524-034600/maps%20jflow.jpg
Tiket: jflowrighthere.com/booking atau +62818-980-890/@plus62store